Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar (Qs. al-Baqarah/2: 155).

Makna “Kami” dan “Aku”

Mengapa Allah SWT menggunakan kata Kami? Bukankah Allah itu Esa, Tunggal dan tidak ada satupun yang menyerupai-Nya? Ulama –dalam hal ini ulama tafsir- mengemukakan bahwa ada maksud tertentu mengapa Allah SWT menggunakan kata “Kami” pada ayat-ayat tertentu dan menggunakan kata “Aku” pada ayat-ayat lainnya.

Dijelaskan bahwa tatkala Allah SWT menggunakan kata Aku, ini menunjukkan keegoan-Nya dan kesombongan-Nya, bagi Allah sangat pantas Ia bersikap demikian dan ini juga sebagai pertanda satu-satunya Zat yang layak dipuja dan disembah.

Penggunaan kata “Aku” yang ditemukan dalam al-Quran, jika diperhatikan berkaitan dengan penghambaan makhluk kepada Khaliq. Dengan sikap penghambaan ini menjadikan pengakuan yang totalitas hanya tertuju kepada Allah SWT.

Perhatikan ayat berikut:  “Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan laksanakanlah shalat untuk mengingat Aku.” (Qs. Thoha/20: 14)

 “Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan Ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku”. (Qs. al-Baqarah/2: 152).

Selanjut penggunaan kata “Kami” mengingatkan pada hamba-Nya bahwa meskipun terkesan keberhasilan yang diperoleh manusia adalah karena usaha manusia tetapi jangan lupa, bahwa dalam meraih kesuksesan itu ada campur tangan Allah, tanpa kita sadari  bahwa badan sehat, kecerdasan yang dimiliki, pergaulan yang luas dan kondisi keluarga yang mendukung kesuksesan pada hakikatnya adalah pemberian Allah yang ditranfser-Nya dalam bentuk sunnatullah. Untuk yang terakhir inilah jika kita kaitkan dengan takdir tentang adanya takdir yang bisa diubah dan Allah tidak akan mengubahnya kecuali jika syarat-syaratnya terpenuhi. Solusi sakit adalah berobat, berobat adalah mencukupkan ikhtiar dan secara syariat harus dilakukan, makan dan minum teratur, rutin mengkonsumsi  obat yang dianjurkan, istirahat cukup dan persyaratan kesembuhan lainnya, jika syaratnya terpenuhi maka Allah SWT akan memberikan kesembuhan padanya. Permisalan di atas kiranya dapat difahami dalam konteks saat ini. Namun ada yang sakit dengan sikap pasrah dan tawakkal kepada Allah, toh, ia sembuh. Dalam khazanah keislaman ada yang namanya karomah dan  ma’unah. Untuk hamba pilihan-Nya, bisa saja atas yang demikian Allah berikan kuasa-Nya. Namun berharap sepenuhnya dengan kualitas iman kita yang kadang yazid (naik) dan kadang yanqush (turun) tentu mengingatkan kita harus banyak muhasabah.

Makna kata “Kami” juga dapat difahami bahwa dalam proses terbentuknya sesuatu, Allah SWT melibatkan makhluk-Nya, bukan karena Allah SWT tidak mampu (a’uudzubillaahi min dzaalik) namun karena kemahakuasaan Allah maka Ia memerintahkan makhluknya untuk terlibat dalam proses tersebut, untuk apa? Untuk memperlihatkan tanda-tanda kekuasaan-Nya. (Perhatikan Qs. ali Imran/2: 190-191 & Qs. al-Mukminun/23: 12-14). Salah satu tujuan Allah SWT melibatkan manusia dalam proses ini adalah agar terpeliharanya ar-Rahman dan ar-Rahim-Nya Allah. Bukankah ketika belajar menyayangi makhluk Allah sama dengan meniru sifat Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang.

Demikian juga makna “Kami” dapat difahami bahwa manusia ikut campur tangan dalam hal kerusakan diri, lingkungan bahkan kerusakan alam semesta. Lagi-lagi sunnatullah di dalamnya. “Tanah longsor karena pohon engkau tebang, parit dan sungai engkau persempit hingga menyebabkan banjir, berkembangnya virus dan penyakit karena pola hidupmu yang tidak sehat”, demikian kira-kira keluhan alam yang jika dibahasakan lewat tulisan ini. (Perhatikan Qs. ar-Rum/30: 41).

Makna Ujian

Kata bala (بلأ) secara bahasa bermakna kesedihan atau kesusahan. Kata ini memiliki kedekatan makna dengan musibah. Bukankah setiap musibah akan memunculkan sikap kesedihan dan merasa susah.

Firman Allah SWT di awal tulisan ini mengajarkan dan memberitahu kita bahwa ujian atau istilah yang sejenis dengannya (bala, mushibah, fitnah, ‘iqab, azab) adalah satu keniscayaan hidup. Siapapun kita, pasti akan mengalami hal ini. Hanya kepada siapa ujian itu diberikan, inilah yang membedakan kualitasnya dihadapan Allah SWT. Bagaimana cara mengukur kualitasnya di hadapan Allah SWT? Sejauh mana ia menyikapi ujian tersebut, disitulah letak keberimanan seseorang. Ujian diberikan sesuai dengan tingkat keimanan seseorang.

Ujian Allah, untuk siapa? Untuk hamba-Nya yang rajin ke masjid, untuk hamba-Nya yang senang membaca al-Quran, untuk hamba-Nya yang menjaga shilaturrahmi, untuk hamba-Nya yang rajin berinfaq dan shadaqah, untuk hamba-Nya yang membantu orang lain, untuk hamba-Nya yang menjaga aib saudaranya, untuk hamba-Nya yang menjaga diri dari  maksiat. Bagi orang ini, musibah adalah ujian untuk mengangkat derajatnya pada maqoomam mahmuudaa.

Lain halnya kalau diberikan sebagai teguran, ini dimaknai sebagai peringatan agar mereka mau kembali ke jalan yang benar. Mereka yang dulunya senang bertegur sapa sudah mulai menunjukkan kesombongan, mereka yang dulunya hadir di majlis ilmu sudah mulai menjauh, mereka yang dulunya taat sudah berbelok kepada dekat maksiat, yang dulunya akrab sudah mulai renggang shilaturrahminya, yang dulunya rajin membantu saudaranya sudah mulai cuek dan tidak peduli, yang dulunya berinfaq sudah mulai perhitungan dengan nikmat Allah.  Allah sayang kepada mereka, karenanya Allah berikan musibah sebagai teguran agar kembali kepada jalan-Nya.

Ayat ini menginformasikan kepada kita dengan lima macam jenis ujian. Ujian dimaksud adalah ْخَوف(takut), ْجُوعِ(lapar), وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمْوَالِ (kekurangan harta/kemiskinan), والأنفُسِ (jiwa/kematian) dan الثَّمَرَاتِ (buah-buahan/gagal panen/hasil produk).

Takut menjadi sifat manusia yang sengaja Allah SWT titipkan untuk menjadi media menggantungkan segala sesuatunya kepada Allah. Bukankah umumnya manusia jika ia takut ia pasti minta perlindungan kepada siapapun. Sifat manusia,  yang kaya takut miskin; yang sudah populer dan terkenal takut diasingkan; kadang ada yang menjabat takut diturunkan; kadang ada yang takut tua. Ketakutan semacam ini hendaknya mendorong kita untuk menyadari bahwa apapun akan menuju kematian dan kebinasaan karena tidka ada yang perlu dipertahankan mati-matian. Ketakutan (خَوف) harus diubah menjadi ketakutan ((خش. Menurut Fethulleh Ghulen (https://fgulen.com/id/karya-karya/tasawuf/49392-khauf-dan-khasyyah), khasya  adalah tingkatan dari rasa takut yang paling tinggi. Ini menjadi ciri dari ulama, dalam Al-Quran disebutkan:

 “Dan demikian (pula) di antara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa dan hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Pengampun.” (Qs. Fathir/35: 28).

Jika difahami, pantas Allah mengawali ayat ini dengan kata takut. Dari sikap takut ini memunculkan ketakutan akan kekurangan dan kehilangan apa saja yang ada di sekitarnya dan apa yang dimiliknya. Takut kekurangan harta, takut mati, takut gagal produksi dan berbagai macam ketakutan lainnya.

Ketakutan di atas akan hilang setidaknya berkurang makanala kita tadabburi lagi ayat berikutnya yakni pada Qs. al-Baqarah/2: 156 yakni:

 “(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn” (sesungguh-nya kami milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali).” (Qs. al-Baqarah/2: 156).

Ucapan إِنَّا لِلّهِ  (sesungguhnya kami ini milik Allah), mengandung pengertian bahwa diri kita sendiri, keluarga, dan harta kita pada hakikatnya adalah milik Allah. Jika kita memahami betul kalimat istirja’ ini, maka kita akan menyadari apa yang harus kita takutkan, mengapa kita takut dan kepada siapa kita harus takut. Semoga**

 

 

**Penulis: Ketua PC Pergunu Kota Pontianak/Guru MAN 2 Pontianak