Pontianak, PP Pergunu

Oleh : Sholihin HZ., S.Ag., M.Pd.I*

Sejak pertengahan 2023, gaung Pemilu (Pemilihan Umum) telah menggema. Pemilu untuk Pemilihan Presiden dan Calon Legislatif meramaikan informasi media sosial dan perbincangan disemua kalangan. Februari 2024 menjadi titik puncak pemilu dimaksud. Tulisan ini semata untuk mengingatkan kita semua dengan harapan hati-hati dan cerdas dalam memilih dan menentukan pilihan. Peristiwa suksesi kepemimpinan ini sudah menjadi peristiwa alam dimana satu saat dinaikkan dan dipilih maka akan tiba saatnya turun dan atau tidak dipilih lagi. Sejarah mencatat bagaimana prosesi suksesi kepemimpinan era Rasulullah SAW dan Khulafaurrasyidin. Dari pemerintahan era kenabian (Rasulullah) yang kemudian dilanjutkan di era Abu Bakar Shiddiq, kemudian diteruskan oleh Umar al Faruq, tidak lama kemudian diteruskan Ustman bin Affan dan terakhir era Khulafaurrasyidin oleh Ali bin Abi Thalib.

Kepemimpinan yang bagaimana yang merupakan kepemimpinan yang terbaik? Jawabannya adalah pasti era kenabian dan khulafaurrasyidin sehingga disebutkan era masyarakat yang paling baik adalah di era itu sehingga disebutkan sebagai khairul qurun. Karenanya perjalanan sejarah di era itu bisa dijadikan sebagai spirit untuk mewujudkan kepemimpinan yang (setidaknya) mendekati style kepemimpinan dimaksud.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, dari ‘Auf bin Mālik ra disebutkan, “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian cintai dan mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka pun mendoakan kalian. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian benci dan membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.” Hadits ini secara tersirat menyebutkan dua hal yang masuk kategori pemimpin yang baik dan dua hal yang merupakan pemimpin yang buruk.

Pemimpin dengan kepemimpinannya yang baik adalah yang rakyatnya mencintai pemimpinnya dan pemimpinnya mencintai rakyatnya. Sebagaimana umumnya orang yang mencintai adalah ia senantias akan mendoakan orang yang dicintainya. Indikator lainnya orang yang mencintai adalah berusaha menginternalisasikan nilai-nilai positif faktor yang diluar dirinya untuk dijadikannya sebagai teladan. Mencintai Nabi berarti berusaha mengikuti apa yang diajarkan dan diteladankan oleh Nabi SAW. Cinta atau mahahbbah dalam terminologinya memiliki banyak makna, mulai dari cinta monyet hingga cinta sejati (hakiki). Apapun istilahnya, bahwa cinta mampu memunculkan daya dorong untuk menuju kepada apa yang dikehendaki oleh orang yang dicintai. Cinta tidak tumbuh dengan sendirinya, berbagai varian menyertainya dalam mempersonifikasikan dirinya. Bisa cinta karena postur, cinta karena style kepemimpinan, cinta karena diikat rasa primordialisme, cinta karena kemampuan intelektualnya. Banyak hal yang melatarbelakanginya namun sesungguhnya cinta ini harus menjadi point sendiri bagi kedua belah pihak. Rakyat mencintai pemimpinnya dan pemimpin mencintai rakyatnya.

Lantas pemimpin yang bagaimana yang masuk kategori seburuk-buruk pemimpin? Lanjutan hadits di atas adalah, “Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian benci dan membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.” Jika sebelumnya kedua belah pihak terjalin komunikasi yang baik karena saling cinta maka teks berikutnya menyebutkan bahwa pemimpin yang buruk adalah yang keduanya saling hujat dan memaki. Saling melaknat. Rakyat membenci pemimpinnya dan pemimpin membenci rakyatnya. Jika dua item utama berdirinya satu organisasi sudah tidak saling melengkapi dan saling membutuhkan maka yang terjadi adalah saling tuding, saling curiga dan akhirnya timbul ketidak percayaan. Lantas, jika sudah tidak percaya maka program dan aktifitas apa yang akan didukung sepenuhnya oleh rakyat untuk kemajuannya?

Disinilah hakikat bahwa jayanya sebuah organisasi (baca: negara) besar yang diatur dan tata sedemikian rupa yang ia bisa berbentuk republik, kerajaan, parlementer dan sebagainya sebagai point terpenting.

Pemimpin yang dicintai tidak tumbuh dengan sendirinya sebagaimana pemimpin yang tidak cintai bahkan dibenci juga muncul karena faktor tertentu.

Sebagai catatan akhir, Rhenald Kasali dalam bukunya Re-Code Your Change DNA (2007: 239) menyebutkan, “Jadilah manager proaktif, bukan manajer reaktif”. Manager proaktif adalah manager yang ber-mindset seeks change bahkan mengambil inisiatif untuk melakukan pembaharuan dan manager proaktif ditandai dengan memprediksi hari esok dengan menciptakannya sendiri. Berlainan dengan manager reaktif yang akan bergerak reaktif tergantung (influenced by) pada kejadian yang muncul dari luar. Hal negatif dari gaya yang terakhir ini adalah selalu memiliki dan mencarialasan bahkan menyalahkan orang lain dan lingkungan. Prinsipnya yang penting aman meskipun merugikan lembaga.

Selamat berpesta demokrasi lima tahunan. Semoga terpilih pemimpin yang berkualitas untuk kejayaan Indonesia.

* Penulis merupakan Sekretaris Umum PW IPIM Kalimantan Barat  &  Ketua PC. Pergunu Kota Pontianak.