Sejatinya Hari Guru Nasional merupakan perenungan terhadap dedikasi para guru di Indonesia, bukan hanya sebagai HUT PGRI semata, lebih jauh daripada itu HGN adalah momentum milik bersama untuk merenungkan kembali bahwa setiap langkah dan keberhasilan kita sebagai manusia tak lepas dari peran seorang guru.
Guru lah yang menghasilkan para profesor, doktor dan jutaan sarjana, setiap profesi yang kita jalani tak lepas dari tangan hangat guru-guru kita dalam mendidik sehingga menjadi seorang Presiden, Menteri hingga tukang service Laptop bahkan pedagang asongan diterminal-terminal dan ribuan profesi lainnya. Bahkan secuil pengetahuan kita pun tak lepas dari kesabaran dan kasih sayang guru dalam mendidik dan menularkan ilmu pengetahuan kepada kita.
Jadi, Hari Guru Nasional yang sudah diperingati beberapa hari kemarin mari kita jadikan bahan renungan bersama, menyitir pidato Mas Mendikbud Nadiem Anwar Makarim yang menyatakan bahwa tugas Guru adalah yang termulia sekaligus tersulit. Ini benar adanya, bahkan kadang sebagai guru tugas tersulitnya bukan dalam mendidik melainkan menyelesaikan berbagai proses administrasi terkait beban kinerja guru dan prosedur yang tak memiliki manfaat yang jelas.
Namun dari sekian retorika yang disampaikan Mas Mendikbud nampaknya ada yang luput dari pembahasan kita yaitu terkait nasib dan kesejahteraan para guru-guru mulia. Kita mahfum betul bahwa nasib guru honorer seperti mendung yang tak kunjung hujan. Bahkan disadari atau tidak, sejauh ini ada jutaan guru yang tidak jelas nasibnya, pemerintah kadang melukai hati guru dengan ‘mempingpong’ guru kesana kemari untuk urusan administrasi yang bertele-tele.
Sekedar contoh, bagaimana nasib guru honor yang mengabdi disekolah swasta atau negeri dalam mendapatkan Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK)? apakah Mas Mendikbud sudah mengetahui bahwa banyak guru yang sudah mengabdi puluhan tahun namun belum mendapatkan NUPTK? Pemerintah, melalui Mendikbud mensyaratkan bahwa segala urusan administrasi terkait kesejahteraan guru hanya bisa diberikan kepada guru yang sudah memiliki NUPTK. Namun apakah Mas Menteri tahu syarat terbitnya NUPTK bagi guru sekolah negeri adalah adanya SK Pengangkatan Guru Honorer dari Bupati/ Walikota, sedangkan hanya dalam hitungan jari Kepala Daerah yang berani mengeluarkan SK, selainnya tidak berani. Terus bagaimana nasib mereka yang digantung oleh kebijakan ganda?
Belum lagi nasib ratusan ribu guru yang sudah mengajukan Inpassing Guru Bukan Pegawai Negeri Sipil (GBPNS) yang sedang berlangsung dan ditindih dengan program PPPK? Sekedar memberi informasi, banyak sekali guru yang harus berkali-kali pemberkasan inpassing namun hasilnya tidak pernah nyata kemudian harus pemberkasan PPPK hasilnya juga tidak nyata, dan itu terus berulang dan berulang. Mas menteri bisa bayangkan seberapa berkas yang disyaratkan? berpuluh-puluh lembar. Sebenarnya para Guru Honorer sudah jengah dan lelah diperlakukan seperti itu, namun apa daya, kesejahteraan guru juga tak kalah penting dari nasib kecerdasan bangsa. untuk itu Guru harus menelan pil pahit administrasi sebagai obat penawar rasa khawatir akan kesejahteraannya. Namun sekalilagi, harapan itu ada namun lebih sering tak nyata.
Mari kita renungkan bersama, benar benar kita tanyakan dalam sanubari kita, bagaimana guru bisa profesional ketika perutnya lebih sering kosong? bagaimana guru bisa berfikir inovatif ketika tunggakan biaya pendidikan anaknya sendiri tak terselesaikan? bagamana guru mau merdeka dalam pembelajaran ketika selalu terbayang anaknya dirumah bisa makan atau tidak? bagaimana guru mau kreatif dalam mengajar ketika pikirannya terbelenggu oleh hutang koperasi sekolah? Mas Mendikbud, itu pertanyaan sederhana yang harus mas jawab terlebih dahulu sebelum mensederhanakan kata-kata. Kita bicara optimisme itu penting, tapi tak elok ajari guru untuk optimis dengan retorika anda sebab guru telah jauh lebih lama mencontohkan optimisme dalam getir perjuangannya mendidik bangsa.
Itu baru dua hal yang subtansial bagi kesejahteraan guru, belum yang lainnya lagi ya Mas Menteri, jadi jangan bangga kalau ada ribuan guru yang ndouble jadi tukang ojek. Perubahan tidak dapat dimulai dari atas itu kata anda. Semuanya berawal dan berakhir dari guru itu kata anda. Jangan menunggu aba-aba, jangan menunggu perintah. Namun ini sebuah titah dari suara hati tanpa darah, bicara guru tidak bisa ‘Gebyah Uyah’. Jika tak serius meningkatkan kesejahteraan guru, jangan harap Indonesia bisa maju.
Selamat Hari Guru Nasional untuk semua guru kehidupan kita.
Achmad Zuhri, M.I.Kom
Pendidik dan Inisiator Forum Silatnas Organisasi Profesi Guru
Sekretaris PP PERGUNU
Comment(1)-
comment Anwat says
1 April 2020 at 07:07Saya sudah bosen mendengar janji janji tak pasti, gaya gaya sastra bahasa yg tinggi, ……bagi mereka yg berwenang, akan engkau apakan GURU itu.