Oleh: Ahmad Faqih
Sekretaris PW PERGUNU Jawa Timur

Setiap menjelang tahun akademik baru, di tengah masyarakat selalu muncul polemik terkait kebijakan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Apalagi di tahun ini regulasi PPDB tak hanya jalur zonasi tempat tinggal tapi juga jalur prestasi, mutasi dan afirmasi. Usia peserta didik dan latar belakang kondisi ekonomi juga menjadi pertimbangan kuota penerimaan.

Tapi kenapa polemik PPDB selalu muncul dan berulang? Terlihat sekali betapa calon konsumen lembaga pendidikan begitu mendamba untuk bisa bersekolah di sekolah negeri. Kenapa keberadaan lembaga pendidikan swasta (sekolah dan PT) seolah menjadi kasta kedua dalam peradaban pendidikan di negeri ini? Padahal di manca negara, pada umumnya private school (sekolah/kampus swasta) lebih diminati dari pada public school (sekolah/kampus negeri). Bahkan bagi masyarakat di luar negeri, bersekolah di privet school dianggap lebih bergengsi (prestise).

Fenomena PPDB seperti ini, setidaknya menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat di Indonesia kepada sekolah negeri relatif lebih tinggi dibanding kepada sekolah swasta. Umumnya pertimbangan utama konsumen dalam memilih lembaga pendidikan adalah faktor mutu dan biaya. Saat ini, persepsi yang tertanam dibenak mayoritas masyarakat masih menganggap bahwa sekolah negeri secara mutu “lebih unggul”. Atau mereka menganggap biaya pendidikan di sekolah negeri lebih terjangkau.

Padahal fakta di lapangan menunjukkan bahwa saat ini, terdapat banyak lembaga pendidikan swasta yang mutu dan layanan pendidikannya tidak kalah dengan negeri bahkan mungkin lebih unggul. Bahkan dibanyak daerah, sekolah swasta prestasinya melampaui sekolah negeri. Pada umumnya sekolah swasta lebih menonjol pada aspek layanan pedagogis, aspek penanaman ahlaq, perkembangan kepribadian peserta didik serta pengembangan kreatifitas dan kemandirian (life skill). Beberapa diantaranya mengaplikasikan system pendidikan berbasis boarding school (asrama/pesantren).

Dari segi biaya pendidikan, saat ini di berbagai penjuru tanah air, telah banyak berdiri sekolah swasta yang menawarkan layanan pendidikan bermutu dengan biaya yang terjangkau bahkan gratis. Sebagian diantaranya juga menyediakan skema beasiswa bagi golongan ekonomi yang kurang mampu. Tapi mengapa hingga hari ini persepsi itu masih tertanam? Mengapa kesetaraan pandang itu belum terjadi.

Hingga hari ini, pemerintah tidak memiliki sumberdaya dan energi yang memadai untuk memberikan layanan pendidikan dengan tanpa melibatkan civil society. Karena itu, setidaknya ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk “mensejajarkan derajat” sekolah swasta dengan sekolah negeri.

Seyogyanya, terlebih dahulu harus dilakukan “zonasi” guru dan tenaga kependidikan” (baca redistribusi). Guru dan PTK yang berprestasi harus terlebih dahulu dipetakan dan disebar untuk memberikan “modal” yang setara antar sekolah. Sehingga kesenjangan antar sekolah bisa diminimalisir. Yang dulunya dianggap tidak favorit bisa memiliki “modal tambahan” untuk merebut trust masyarakat.

Sementara guru dan PTK yang kurang qualified, segera dilakukan upgrade melalui pembinaan dan training yang intensif dan sistematis. Pada garapan ini, organisasi profesi guru penting untuk dilibatkan.

Perlu juga disiapkan regulasi yang memungkinkan untuk mengeliminasi mereka yang tetap unqualified setelah menjalani proses upgrading. Mereka harus digantikan oleh SDM baru yang sebelumnya telah tersertifikasi /terjamin kualifikasinya. Hal ini menjadi krusial, mengingat lendidikan adalah layanan jasa yang menentukan masa depan generasi bangsa (manusia).

Diluar faktor SDM, pemerintah juga dapat melakukan intervensi melalui upaya pemenuhan dan standarisasi sarana prasarana pendidikan di sekolah swasta. Pemerintah harus memunculkan kebijakan afirmasi dibidang ini, baik melalui regulasi maupun realokasi anggaran yang dimiliki.

Pendirian sekolah baru harus terlebih dahulu memenuhi syarat minimal ketersedianan sarpras pendukung pendidikan. Sementara sekolah swasta yang terlanjur berdiri harus dipastikan memenuhi standar ketersediaan sarpras pendukung. Bisa melalui skema kerja sama antara institusi penyelenggara dengan pemerintah. Karena keterbatasan anggaran pemerintah yang tersedia, misalnya bantuan dana dari pemerintah hanya bisa diberikan bila institusi pengelola turut serta menyiapkan sekian persen dana yang dibutuhkan untuk pengadaan sarpras tersebut.

Disisi lain, kebijakan zonasi dan pagu dalam PPDB, seharusnya juga diterapkan di lingkup madrasah negeri. Dengan cara ini berkah (baca side effect) kebijakan akan mengalir secara optimal ke sekolah/madrasah swasta. Selama ini madrasah negeri dengan “unlimited” zona dan pagu-nya lebih banyak mendapat serapan limpahan murid dari sekolah negeri. Dengan bertambahnya jumlah murid di sekolah swasta, tentu dengan sendirinya mereka akan memiliki ruang fiskal yang cukup untuk melakukan peningkatan mutu dan perbaikan layanan.

Yang tak kalah penting, seyogyanya private school diberikan ruang yg lebih luas utk berkreasi dalam menawarkan sajian menu (kurikulum) dan layanan pendidikan. Perlu deregulasi aturan bagi private school agar tercipta keunggulan-keunggulan genuine berbasis kearifan dan potensi lokal. Dengan keunggulan dan keunikan tersebut diharapkan private school akan mampu merebut trust dari masyarakat.

Saatnya lembaga pendidikan swasta lebih gigih berjuang untuk membalik persepsi dan keadaan. Saatnya pemerintah mengambil langkah-langkah out of the box untuk mengakselerasi terwujudnya kesejajaran.

Dengan begitu, kita bisa berharap akan terwujud perubahan persepsi masyarakat. Bahwa sekolah swasta tak kalah mutunya dari pada sekolah negeri. Bahwa bersekolah di lembaga pendidikan swasta justru lebih bergengsi serta membawa prestise. Wellcome to new normal pendidikan, selamat tinggal abnormal persepsi pendidikan.
Bagaimana menurut anda?