Mojokerto, NU Online

Pimpinan Pusat Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (PP Pergunu) menggelar Halaqoh Pemikiran dan Perjuangan KH Abdul Chalim Leuwimunding pada Senin (20/3/2023). Halaqoh dalam rangka Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) PP Pergunu dan Silaturahim Menyambut Bulan Suci Ramadhan 1444 H dilaksanakan di Pondok Pesantren Amanatul Ummah Pacet, Mojokerto, Jawa Timur.

Intelektual Muda NU KH Nur Khalik Ridwan yang juga pemateri pada kegiatan tersebut mengungkapkan bahwa dalam tradisi Islam sebelum KH Abdul Chalim lahir, terutama di daerah Leuwimunding, terdapat tradisi Islam yang berkembang dari Sunan Gunung Jati dan diteruskan oleh murid-muridnya sampai kepada KH Abdul Chalim.

“Tradisi itu adalah pengamalan ajaran Islamnya bertautan antara syariat, tarekat, hakikat dan ma’rifat. Guru-gurunya merupakan yang mengakomodasi itu. Jadi tradisi yang ada tidak dihilangkan tetapi dilestarikan dan diberi sentuhan keislaman,” ujar Nur Khalik pada kegiatan yang bertajuk ‘Guru Mulia, Pemersatu Bangsa’.

Nur Khalik menjelaskan bahwa tradisi keislaman Sunan Gunung Jati dirumuskan dalam nilai-nilai kehidupan yang disebut dengan wewekas dan ipat-ipat, yang paling terkenal tradisi mengasuh orang fakir dan miskin. Terdapat juga tradisi menghidupkan amaliyah keagamaan di langgar atau mushola. Jadi, menurutnya, tradisi keislaman di Leuwimunding merupakan tradisi yang dikembangkan oleh Sunan Gunung Jati. Sedangkan KH Abdul Chalim merupakan pewaris tadisi Islam yang kental dengan amaliyah dari para pendahulunya.

Selain itu, KH Abdul Chalim dikenal sosok ulama yang memiliki tirakat yang kuat. Hal itu dibuktikan dengan perjalanan dari Majalengka ke Surabaya yaitu dengan jalan kaki selama 12 hari dengan berbekal kunyit. KH Abdul Chalim sosok ulama yang dibesarkan dalam tradisi amaliyah yang kuat dikarenakan mewarisi tirakat dari para pendahulunya.

“Salah satu Buyut KH Abdul Chalim bernama Buyut Liuh yaitu anak dari Buyut Kreteg. Buyut Liuh dikenal jagoan bertempur sekaligus ulama. Ia dikenal sebagai orang yang sangat disegani dan dihormati, bahkan pertempuran para jagoan tidak akan perneh dimulai kecuali Buyut Liuh sudah hadir,” kata Nur Khalik yang juga tim peneliti Biografi KH Abdul Chalim itu.

Lebih lanjut, Nur Khalik menceritakan bahwa Buyut Liuh juga dikenal sebagai komandan perang saat menghadapi kolonialisme penjajahan di Cirebon. Dalam sejarah perang melawan kolonialisme di Cirebon dikenal dengan sebutan perang Kedongdong. Begitu juga dengan di Kuningan ada sebuah perlawanan terhadap kolonialisme penjajah yang dilakukan oleh Eyang Hasan Maulani Lengkong yang merupakan penerus tradisi tarekat Syatariyah. Di sekitar daerah Leuwimunding juga terdapat tarekat-tarekat yang berkembang dan sekaligus wewarisi tradisi para ulama. Tradisi keilmuan ulama, terekat dan perlawanan terhadap kolonialisme diteruskan oleh KH Abdul Chalim.

“Ketika menempuh perjalanan dari Majalengka ke Surabaya dan di tengah perjalanan itu menemukan mushola, KH Abdul Chalim selalu menunaikan tirakat dan meminta doa kepada para kiai yang ditemui dan pada akhirnya sampai kepada KH Hasyim Asy’ari. Setelah itu, KH Abdul Chalim mengajar di Nahdlatul Wathan dari situ banyak lahir para ulama-ulama berkat didikan KH Abdul Chalim,” ungkapnya.

Nur Khalik menjelaskan bahwa KH Abdul Chalim merupakan sosok ulama yang menjabat sebagai Katib Tsani di Nahdlatul Ulama pada periode pertama. Salah satu tugusnya adalah menulis undangan dan mengirim undangan kepada sejumlah kiai di Jawa dan Madura bahkan jumlahnya ratusan ulama yang diundang. KH Abdul Chalim pernah memberikan penekanan kepada KH Wahab Chasbullah mengenai tujuan lahirnya organisasi Nahdlatul Ulama.

“Dalam dialognya KH Abdul Chalim mengatakan, ‘apa cuma ini kita mendirikan organsiasi? Kenapa kita tidak berbicara tentang kemerdekaan?’ Lalu KH Wahab Chasbullah menjawab, ‘iya ini maksudnya’ dengan jamiyah ini kita akan sampai kepada kemerdekaan itu yang dimaksud KH Wahab Chasbullah,” kata Nur Khalik.

Nur Khalik menuturkan bahwa setelah NU lahir, KH Abdul Chalim sering mengunjungi para kiai dengan maksud menegosiasi dan meminta dukungan untuk NU. Selama menempuh perjalanan menemui para kiai, KH Abdul Chalim juga membawa tas yang isinya beberapa kitab dan sarung untuk berdagang.

“Saya juga menemukan saat mengunjungi Leuwimunding satu kitab hadiah Kiai Dahlan Surabaya kepada KH Abdul Chalim yang menunjukkan kedekatan sesama pendiri NU dan terdapat tanda tangannya, kitab itu I’anatut Tholibin kitab tentang fiqih” ujarnya.

Lebih lanjut, KH Abdul Chalim saat itu pernah menjabat sebagai Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dengan ciri khasnya ketika ke Jakarta selalu memakai sarung dan merupakan tokoh paling sepuh di MPRS. Selain itu, KH Abdul Chalim juga tidak pernah tinggal di hotel bahkan Ia lebih memilih tinggal di mushola. Gaji yang Ia terima dari jabatannya itu sebagian sering disumbangkan kepada fakir miskin dan anak-anak yatim.

Nur Khalik mengungkapkan bahwa KH Abdul Chalim merupakan tokoh dari kalangan kiai yang paling dicari oleh penjajah saat itu, namun tidak pernah tertangkap. Menurutnya, berdasarkan didikan dari para guru-gurnya yang juga dari kalangan pendekar, KH Abdul Chalim adalah tokoh yang tidak bisa ditangkap oleh penjajah. Ia bahkan dikenal sebagai ulama yang alim, pendekar pencak silat, dan juga ahli politik.

Oleh : Erik Alga Lesmana