oleh: Erik Alga Lesmana

Sekitar tahun 1980-an, keberadaan santri dapat dilihat dan dibedakan dengan mudah antara santri dengan pelajar yang lain. Misalnya untuk mengetahui santri, tubuhnya dibungkus dengan sarung, baju lengan panjang dan kopiah serta alas kaki ala kadarnya. Sebaliknya apabila terdapat pelajar yang mengenakan celana, berdasi dan bersepatu, jelas ia bukan dari kalangan santri.

Pakaian yang dikenakan santri terbilang sederhana jika dibandingkan dengan pakaian ala budaya Barat. Namun, kiai Sahal Mahfudz (Rais Aam PBNU 1999-2014) menilai, bahwa budaya etis santri itu bukannya tidak bermakna, tetapi menujukkan nilai-nilai kesederhanaan sesuai ajaran yang diyakini. Sekaligus merupakan sikap protes terhadap kolonialis Belanda dan para simpatisannya. Pakaian yang melekat di tubuh santri bukan sebatas penutup aurot saja, melainkan memberikan perlawanan nyata terhadap penjajah.

Sebetulnya pakaian santri terbilang cukup mewah jika dilihat dari nilai dan makna yang terkandung di dalamnya. Hanya saja penilaian tersebut berdasarkan kasat mata yang menjadikan ukuran penilaian, sehingga terkesan biasa-biasa saja bahkan dirasa tertinggal. Dari dulu sampai sekarang pakaian santri masih tetap sama, dengan mengenakan sarung, baju lengan panjang dan kopiah sebagai ciri khasnya. Apabila pakain yang dikenakan santri terbilang sederhana dan tertinggal, maka hampir bisa dipastikan saat ini tidak ditemukan lagi. Karena nilai kemewahan yang melekat inilah menjadikan pakaian santri tetap eksis seperti sekarang.

Namun jika kita melihat kondisi hari ini malah sebaliknya, pasalnya banyak orang tampil dengan bangganya mengenakan pakaian ala santri. Kerap kali mereka memposting pakaian ala santri di medsos akun pribadinya, padahal mereka berada di luar lingkungan pesantren. Justru pakaian santri terbilang mewah, tidak ada orang tampil merasa malu atau berkecil hati. Bahkan mereka tampil dengan menunjukkan rasa bangga sebagai indentitas pribadi bahwa mereka bagian dari kalangan santri.

Sejak ditetapkannya 22 Oktober sebagai hari santri Nasional, akun modsos dipenuhi dengan ucapan selamat sembari tampil dengan mengenakan pakaian ala santri. Hampir tidak ditemukan ucapan selamat mengenakan pakaian diluar kebiasaan santri di pesantren. Dalam kondisi tertentu agar dapat eksis di medsos dengan datangnya hari santri nasional, sengaja menyempatkan diri berfoto mengenakan pakaian ala santri agar tampil layaknya di pesantren. Momen ini menjadi bentuk nyata kecintaan santri terhadap budaya sendiri ditengah modernisme yang berkembang cukup pesat. Santri masih setia mengenakan pakaian kebesaran yang menjadi identitas mereka. Hal ini menujukan bahwa nilai patriotisme santri tidak diragukan lagi sejak dulu hingga sekarang.

Menururt Kiai Sahal, asumsi pesantren sebagai lembaga pendidikan lebih menguat lagi karena para santri mampu menampilkan diri sebagai produk lembaga pendidikan agama.

Oleh karena itu, pakaian yang dikenakan santri juga mempunyai nilai spritualitas yang tinggi. Karena mampu menampilkan diri di tengah masyarakat modal dari produk pesantren. Kebiasaan santri dan kiai saat melakukan aktivitas keagamaan di lingkungan pesantren menjadikan pakaian dinilai cukup religius. Bisa jadi, pakaian santri menjadi jimat penangkal yang hebat, sehingga ketika hendak melakukan perbuatan maksiat dapat mengerem secara otomatis karena setruman religius dari pakaian. Sekali lagi, hanya karena pakaian.

Untuk itulah pakaian santri dinilai cukup sakral dikarenakan dapat membangun pribadi yang justru dapat meningkatkan nilai-nilai religius. Bandingkan ketika santri mengenakan pakaian di luar kebiasaan pesantren. Melihat hal demikian rasanya tidak nampak kharisma religius dalam pribadi santri bahkan terkesan jauh dari cerminan keshalehan. Sekalipun keshalehan seseorang tidak diukur dari pakaian, namun hal itu dapat mempengaruhi kondisi sosial masyarakat sebagai cerminan legitimasi agama.

Sekian…