Oleh: Imam Syafe’i*

Selama tahun 2000 sd 2003, di sela-sela melaksanakan Tugas Belajar Program Doktor di Universitas Negeri Jakarta, saya dapat kesempatan di Direktorat Madrasah Kementerian untuk menjadi Konsultan Manajemen program Kerjasama dengan Islamic Development Bank (IDB). Fokus pekerjaannya ketika itu mendampingi MAN Model Samarinda, Pusat Sumber Belajar Bersama (PSBB) MAN Model dan Madrasah Development Center (MDC) Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Kalimantan Timur. Hampir setiap hari selama empat tahun berintaraksi terus dengan Kepala Madrasah, Pengawas, Guru, dan Bidang Madrasah. Tidak hanya dengan para pengelola, penggiat, dan pemerhati madrasah yang ada di Kalimantan Timur kami mendiskusikan madrasah tetapi kami juga cukup intens  bertemu dengan teman-teman dari pelbagai daerah dari seluruh tanah air. Saat itu, yang didampingi tidak hanya Madrasah Aliyah Negeri Model saja tetapi dalam waktu yang bersamaan Kementerian Agama juga sedang menangani Program Science and Technology Project-Two (STEP-2) pada sekitar 33 Madrasah Aliyah Swata di seluruh Indonesia yang mencoba mengembangkan program ketrampilan dalam pelbagai jenis. Program ini terobsesi dengan keberhasilan program STEP-1 pada dua madrasah yakni MAN IC Serpong dan Gorontalo yang diinisiasi oleh BPPPT dan kemudian diserahkan pada Kementerian Agama.

Saya tidak ingin bercerita lebih lanjut tentang proyek dan program tersebut tetapi hanya ingin menceritakan sekelumit cerita inspiratif yang pernah disampaikan peserta di tengah-tengah pelatihan. Di sela-sela beristirahat pada pelatihan pengawas waktu itu, ada salah seorang dari mereka yang menceritakan pengalaman menarik di saat melaksanakan tugas kepengawasan. Anda jangan membayangkan pengawas dulu dengan sekarang. Saat itu saya sering dilibatkan mewancarai calon pengawas. Mereka berasal dari pelbagai latar belakang. Banyak diantara mereka yang belum pernah memiliki pengalaman mengajar sama sekali. Makanya dulu sering disebut program NU (Nambah Umur) untuk memperpanjang pensiun. Bisa dibayangkan mereka yang tidak pernah sama sekali mengajar di kelas dan menjadi kepala sekolah tiba-tiba harus mensupervisi guru dan manajerial kepala madrasah. Tetapi lagi-lagi SK itu bisa membuat pantas segalanya.

Berbeda dengan pengawas madrasah/sekolah sekarang. Pengawas sekarang merupakan karir puncak guru. Dimulai dari guru, wakil kepala, kepala, dan pengawas. Karena karir puncak, maka setiap guru ingin jadi pengawas sebagaimana Guru Besar adalah karir tertinggi seorang dosen. Guru mestinya karir tertingginya adalah Guru Besar. Kenapa guru tidak bisa menjadi Guru Besar? Karena gelar ini sudah duluan diambil dosen. Saat ini para guru yang ingin menjadi pengawas tidak bisa dengan tiba-tiba. Kalau tidak bisa berjenjang dari guru, wakil kepala, kemudian kepala, beberapa tahun terakhir ini Kementerian Agama juga memberikan kesempatan beasiswa Calon Pengawas bagi guru. Kompetensi yang diperoleh pada jenjang pendidikan Strata Dua (S2) ini dianggap sama dengan kesempatan mendapatkan amanah sebagai wakil atau kepala madrasah. Kemudian untuk memastikan kompetensinya mereka harus mengikuti Pelatihan Calon Pengawas yang dilaksanakan oleh Pusdiklat Balitbang-Diklat Kementerian Agama RI.

Kembali kepada cerita yang ingin saya sampaikan terkait kisah unik seorang pengawas tempo dulu. Pengawas ini, meskipun tidak memiliki pengalaman yang memadahi tentang kepengawasan, maklum tidak pernah jadi guru, wakil kepala, kepala dan juga belum pernah mendapatkan diklat kepengawasan, akan tetapi berkat orangnya jujur, disiplin, dan selalu berprasangka dan berbuat baik dengan orang lain Beliau diangkat menjadi Pengawas. Meski orangnya baik, ternyata di lapangan tidak semua yang dihadapi baik. Ada di satu sekolah Pengawas yang baik ini menemukan guru yang tidak baik. Kebiasaan guru ini setiap masuk kelas meminta salah satu muridnya untuk maju ke depan menuliskan materi pelajaran untuk ditulis kembali oleh murid-murid lainnya. Sementara guru yang bersangkutan tidur dengan meletakkan kepalanya di atas meja hingga belajaran berakhir. Guru-guru model seperti ini memang banyak di zaman ketika guru harus menyampaikan pelajaran dengan menulis di papan tulis. Tidur di depan murid seperti ini sudah menjadi kebiasaan guru ini. Meski sering diingatkan berkali-kali masih tetap dilakukan.

Pada suatu hari ada Tim dari Inspektorat Jenderal yang ingin menginspeksi di sekolah tempat guru ini mengajar dan ingin melakukan Kunjungan Kelas (Visiting Class). Tidak di duga sama sekali, tim inspektorat mengajak kepala sekolah dan pengawas mengunjungi kelas yang kebetulan pas mata pelajarannya diampu oleh guru yang memiliki kebiasaan tidur di meja depan siswa-siswanya. Kejadian ini betul-betul mengagetkan ketika rombongan itjen dan pengawas memasuki pintu kelas dimana sang guru sedang tertidur. Wajah pengawas yang damping rombongan ini seketika pucat, bingung dan tidak tau harus ngomong apa dengan tim. Dia menyadari ketidak profesionalannya menjadi pengawas karena belum punya pengalaman mengajar dan menjadi kepala sekolah. Tetapi untung dia orang yang baik, selalu berprasangka baik dan tidak pernah ingin memalukan apalagi menjatuhkan orang lain termasuk kepada guru yang diawasi. Seketika itu muncul dalam batinnya niat dan strategi yang baik bagaimana jangan sampai menjatuhkan guru meskipun yang bersangkutan memiliki kebiasaan yang tidak baik.

Sebelum tim itjen dan kepala sekolah mengomentari kondisi ini, pengawas yang baik ini beranjak maju cepat ke arah guru yang sedang tertidur itu dengan menggedorkan tangannya di meja  guru sambir berucap, “Kamu ini sudah dikasih tau kalau sakit-sakit dilarang mengajar kok masih tetap mengajar, istirahat saja dulu di rumah”. Suasana di kelas seketika itu berubah. Murid-murid semua kaget dan merasa aneh, yang pasti sang guru yang gelagapan karena digedor mejanya di depan tim itjen dan kepala sekolah. Susana ini menjadikan rombongan itjen menampakkan wajah yang kasihan dan salut kepada guru yang dalam keadaan sakit tetap berangkat ke sekolah dan mengajar.

Perasaan simpati ini yang menjadikan rombongan tidak meneruskan visitasinya di kelas dan mereka kembali ke kantor. Sebaliknya perasaan sang guru yang gundah gulana, gelisah dan takut mendapatkan sangsi baik dari inspektorat maupun kementerian karena pas dikunjungi yang bersangkutan sedang lelap tidur. Setelah kejadian ini, beberapa hari kemudian guru ini Nampak gelisah karena ditegur terus oleh pengawas dan kepala sekolah dan diancam diberikan sangsi karena kebiasaan yang tidak baik ini.

Seminggu kemudian, tepatnya hari Sabtu setelah seminggu peristiwa ini terjadi, sang guru duduk di beranda rumah dengan wajah sedih terus menyesali kebiasaannya. Makin bertambah panas dingin dan pucat wajahnya karena dari kejauhan terlihat seorang tukang pos mengontel sepedanya memasuki halaman rumahnya. Guru ini yakin dia akan mendapat surat pemecatan dari Kantor Kementerian. Tukang pos turun dan mengulurkan sebuah amplop kepada sang guru. Makin gemetar dan pucat pelan-pelan surat ini dibukanya. Dengan terus menggetarkan bibirnya seraya berdoa memohon yang terbaik kepada Allah SWT. Baris demi baris isi surat ini dibacanya hingga akhir. Sungguh di luar dugaan, guru ini tiba-tiba meloncat dan berteriak, “Allahu Akbar, Alhamdulillah, Terimakasih Pengawas yang baik, yang selalu berprasangka baik dan selalu menutupi kekurangan kami. Terimakasih Kemenag”.

Kenapa guru ini kaget, meloncat dan kegirangan? Kita semua tidak pernah menyangka, ternyata di akhir baris isi surat yang diterima guru ini berbunyi demikian, “Berkat Dedikasi Saudara yang Luar Biasa, dalam Keadaan Sakit-Sakit tetap Melaksanakan Tugas Mengajar, Anda dipromosikan sebagai Kepala Sekolah”.

Sungguh orang baik, yang memiliki niat baik dan selalu berbuat baik, akan meberikan berkah bertambah kebaikannya orang lain. Demikian seperti yang dimiliki oleh sosok Pengawas sebagaimana dalam kisah ini. Selamat berlibur dan terus tebarkan kebaikan.

*Penulis merupakan Kapus Diklat Kementrian Agama Republik Indonesia