Setelah Penarikan Buku Sastra Masuk Kurikulum, KPAI Sampaikan Tiga Rekomendasi Kepada Kemendikbudristek
Jakarta, PP Pergunu
Oleh : Aris Adi Leksono*
Merespon pengaduan masyarakat, serta pro kontra publik terkait dugaan karya sastra bermuatan kekerasan, serta dianggap tidak ramah anak, yang telah direkomendasikan masuk kurikulum, KPAI telah meminta klarifikasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbud Ristek), Up. Kepala Pusat Perbukuan, bertempat di Ruang Rapat KPAI pada Jumat, 31 Mei 2024.
KPAI berpandangan bahwa sebagaimana amanah Konvensi Hak Anak, serta UU Perlindungan Anak, bahwa setiap anak berhak mendapatkan informasi yang bermanfaat dan dipahami anak. Selain itu anak juga wajib mendapatkan perlindungan pada satuan pendidikan, salah satunya dalam bentuk mendapatkan sumber belajar yang ramah; tidak mengandung unsur kekerasan fisik, psikis, seksual, intoleransi, serta diskriminasi.
KPAI menegaskan bahwa dalam UU No. 3 tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan telah diatur syarat isi buku; tidak bertentangan dengan Pancasila, tidak diskriminatif, tidak mengandung unsur pornografi, kekerasan, dan ujaran kebencian. Maka buku sastra yang direkomendasikan harus memenuhi syarat isi tersebut.
KPAI menjelaskan bahwa rekomendasi buku sastra masuk kurikulum harus memperhatikan prinsip dasar perlindungan anak; non diskriminasi, mementingkan kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup atau kelangsungan hidup dan perkembangan anak serta penghargaan terhadap pendapat anak. Maka setiap proses kurasi, review, uji keterbacaan, serta uji publik harus melibatkan anak, sebagai pihak pengguna buku tersebut.
Atas dasar telaah dan koordinasi tersebut, serta perlu kecermatan dalam proses perbaikan ke depan, maka KPA merekomendasikan tiga hal penting, sebagai berikut:
Pertama, memastikan buku sastra yang direkomendasi masuk pada kurikulum tidak bermuatan sara, kekerasan fisik/psikis, pornografi, kekerasan seksual, diskriminasi, dan intoleransi.
Kedua, dalam proses pemilihan buku sastra dan perbaikan buku panduan pengguna harus memperhatikan prinsip dasar perlindungan anak; non diskriminasi, mementingkan kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup atau kelangsungan hidup dan perkembangan anak serta penghargaan terhadap pendapat anak.
Ketiga, dalam proses pemilihan buku sastra dan perbaikan buku panduan pengguna akan melibatkan psikolog anak, agamawan, pemerhati anak, pakar pendidikan, ahli sastra, guru, serta forum anak.
* Penulis merukapan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Klaster Pendidikan, Waktu Luang, Budaya dan Agama. Sekaligus Sekretaris Umum PP Pergunu.
Continue Reading
Ada Unsur Kekerasan Seksual, Pergunu Minta Kemendikbudristek Perbaiki Buku Panduan Sastra
Jakarta, NU Online
Pimpinan Pusat Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (PP Pergunu) menyampaikan keprihatinan mendalam atas dikeluarkannya Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Sebab, panduan tersebut mengandung unsur kekerasan, baik verbal maupun fisik, serta konteks seksual yang berpotensi membahayakan.
Wakil Ketua Umum PP Pergunu Achmad Zuhri menyatakan bahwa isi dari panduan tersebut belum mencerminkan nilai-nilai pendidikan yang menjunjung tinggi etika yang positif. Untuk itu, perlu perbaikan terlebih dahulu karena belum mencerminkan tujuan pendidikan sebagai fondasi masa depan bangsa.
https://nu.or.id/nasional/ada-unsur-kekerasan-seksual-pergunu-minta-kemdikbudristek-perbaiki-panduan-buku-sastra-9oYde
Continue ReadingModerasi Beragama: Beragama dengan Ramah dan Santun
Jakarta, PP Pergunu
Oleh : Sholihin H.Z.*
Moderasi Beragama, dua kata yang memiliki makna yang dalam apalagi kala digandengkan sehingga menjadi satu pengertian yang perlu pemahaman secara jelas dan komprehensif. Moderasi dimaksud dalam tulisan ini adalah jalan tengah (Tanya Jawab Moderasi Beragama, 2019: 1). Secara etimologi lainnya, moderasi adalah wasathiyah atau wasit sebagai orang yang menengahi satu kompetisi. Karena sebagai wasit maka ia berada di tengah-tengah.
Kala dihubungkan dengan kata ‘beragama’ maka ia kemudian memiliki makna orang yang berpikiran tidak cenderung ke kanan atau ke kiri namun ia pada posisi pertengahan, cara berpikir ini diwujudkan dalam memahami sikap beragama. Sekali lagi, penekanannya adalah pada sikap beragama bukan pada agama itu sendiri. Hakikatnya, agama sudah mengajarkan sikap untuk ber-wasathiyah seperti halnya sikap seorang yang dermawan adalah baik karena orang yang dermawan berarti ia berada diantara dua sifat yaitu sifat boros dan sifat kikir.
Sebagai penegasan pada tataran konsep dan definisi. Perlu penulis kemukakan makna antara moderasi beragama dan moderasi agama. Samakah keduanya? Sudah disebutkan di atas bahwa ajaran agama itu sudah mengajarkan prinsip moderasi, keadilan dan keseimbangan. Maka pada istilah ini, bukan agama yang harus dimoderasi melainkan cara penganut agama dalam menjalankan agamanya itu yang harus dimoderasi. Semakin soleh seseorang maka semakin bermnafaat kehidupannya bagi sekitarnya bukan menjadi boomerang dan bagian dari masalah. Jika yang terjadi adalah dengan beragama justru menjadi kekacauan maka ada yang keliru dalam memahami agamanya sendiri.
Beragama secara moderat dapat dimaknai pada dua sifat dasarnya yaitu adanya pola pikir yang wasathiyah dan sikap atau tindakannya yang mencerminkan wasathiyah itu sendiri. Namun sesungguhnya yang esensial dari dua hal di atas pada pola piker seseorang. Cara berpikir seseorang atau mindset dalam memandang sesuatu jika sudah diawali oleh konstruksi berpikir yang didasari atas asumsi (negatif), praduga yang kemudian tidak di-tabayyun (diperjelas) maka akan menggiring yang bersangkutan menjadi terpolarisasi antara dua sisi apakah cenderung ke kanan (radikalsime) atau ke kiri (liberalisme).
Kesalahan memahami teks-teks keagamaan sebagai efek dari sikap yang inklusif menjadikannya sikap memvonis siapapun di luar pemahamannya mudah terjadi. Disinilah perlunya menjadikan moderasi beragama sebagai cara memahami agama secara wasathiyah bagi para tokoh agama, tokoh masyarakat, sesepuh, tkokoh informal. Bahkan lebih dari itu para pengambil keputusan (anggota DPR/D; Presiden, Menteri, Gubernur dan dibawahnya) harus mendorong program ini menjadi gerakan kultural. Gerakan kultural moderasi beragama. Dengan demikian, sejatinya, moderasi beragama harus melibatkan semua stakeholder yang bukan hanya sebagai penonton tapi ia sebagai pelopor. Siapapun itu.
Pelopor moderasi beragama dan siapapun memiliki tanggungjawab untuk mengenalkan agama secara ramah penuh dengan cinta kasih dan anti kekerasan. “seorang dengan lainnya ibarat satu tubuh, jiak ada bagian yang sakit maka lainnya iktu merasakan sakit”, inilah gambaran sederhana kita adalah bagian lainnya. Pernyataan ini bisa diperluas dimana kita memposisikan diri sehingga kemudian muncul istilah persaudaraan seakidah (islamiyah), persaudaraan sebangsa (wathaniyah), yang kemudian meluas menjadi persaudaraan sesama manusia (basyariyah).
Penulis terinspirasi dengan pernyataan ulama sekaligus budayawan negeri yang dikenal dengan Gus Mus (KH. Mushthofa Bisyri), “Aku mencintaimu karena engkau adalah manusia dan meskipun engkau berbuat jahat aku akan tetap mencintaimu karena aku adalah manusia”. Dasar kemanusiaan menjadi bingkai spirit kebersamaan. Agenda besar atas dasar kemanusiaan akan menghilangkan sekat-sekat primordial. Kekejaman Israel pada bangsa Palestina dengan merebut tanah dan kebebasan rakyat Palestina adalah menjadi gerakan global kemanusiaan bahwa Palestina adalah tragedi kemanusiaan. Siapapun pasti menginginkan kedamaian dan kesejukan.
Disinilah pentingnya moderasi beragama menjadi dasar pijak dalam pengambilan sikap dan langkah bagi siapapun. Mengenalkan wajah agama secara utuh dengan bekal keilmuan menjadi prasyarat agar pesan-pesan keagamaan dapat diterima secara baik. Dengan keilmuan yang cukup, maka pesan yang akan disampaikan tidak hanya bagaimana merancang kualitas informasi itu tapi juga mendesign cara bagaimana cara menyampaikan pesan itu sendiri. Pesan kebaikan dengan cara tidak etis dan cenderung mengarah kepada kekerasan maka bisa saja pesan itu akan berdampak negatif bahkan penolakan dan demikian juga sebaliknya konten yang kurang baik namun disampaikan dengan teknik dan metode yang simpatik tentu akan berpengaruh pada komunikannya.
Syarat lainnya sebagai cara mengenalkan agama dengan ramah adalah melibatkan pihak yang memiliki kepentingan bersama dalam rangka moderasi beragama. Keterlibatan perempuan, tokoh adat (informal) dan pelaku kearifan sosial menjadi keniscayaan. Ketiganya termasuk modal sosial yang harus dirawat. Kenyataan menunjukkan bahwa sikap merawat membutuhkan keseriusan dan kekompakan karena kebersamaan pasti berawal dari perbedaan yang perbedaan dan keragaman itu jika tidak dikelola secara arif dan bijaksana justru akan menjauhkan dari makna moderasi beragama itu sendiri.
Akhirnya, kita harus sepakat bahwa moderasi beragama adalah cara mengenalkan agama dengan lebih ramah dan santun atas dasar kemanusiaan dengan sikap adil dan berimbang.
* Penulis merupakan Ketua PC Pergunu Kota Pontianak Provinsi Kalimantan Barat
Continue Reading