Jakarta, PP Pergunu

Oleh : Sholihin H.Z.*

Moderasi Beragama, dua kata yang memiliki makna yang dalam apalagi kala digandengkan sehingga menjadi satu pengertian yang perlu pemahaman secara jelas dan komprehensif. Moderasi dimaksud dalam tulisan ini adalah jalan tengah (Tanya Jawab Moderasi Beragama, 2019: 1). Secara etimologi lainnya, moderasi adalah wasathiyah atau wasit sebagai orang yang menengahi satu kompetisi. Karena sebagai wasit maka ia berada di tengah-tengah.

Kala dihubungkan dengan kata ‘beragama’ maka ia kemudian memiliki makna orang yang berpikiran tidak cenderung ke kanan atau ke kiri namun ia pada posisi pertengahan, cara berpikir ini diwujudkan dalam memahami sikap beragama. Sekali lagi, penekanannya adalah pada sikap beragama bukan pada agama itu sendiri. Hakikatnya, agama sudah mengajarkan sikap untuk ber-wasathiyah seperti halnya sikap seorang yang dermawan adalah baik karena orang yang dermawan berarti ia berada diantara dua sifat yaitu sifat boros dan sifat kikir.

Sebagai penegasan pada tataran konsep dan definisi. Perlu penulis kemukakan makna antara moderasi beragama dan moderasi agama. Samakah keduanya? Sudah disebutkan di atas bahwa ajaran agama itu sudah mengajarkan prinsip moderasi, keadilan dan keseimbangan. Maka pada istilah ini, bukan agama yang harus dimoderasi melainkan cara penganut agama dalam menjalankan agamanya itu yang harus dimoderasi. Semakin soleh seseorang maka semakin bermnafaat kehidupannya bagi sekitarnya bukan menjadi boomerang dan bagian dari masalah. Jika yang terjadi adalah dengan beragama justru menjadi kekacauan maka ada yang keliru dalam memahami agamanya sendiri.

Beragama secara moderat dapat dimaknai pada dua sifat dasarnya yaitu adanya pola pikir yang wasathiyah dan sikap atau tindakannya yang mencerminkan wasathiyah itu sendiri. Namun sesungguhnya yang esensial dari dua hal di atas pada pola piker seseorang. Cara berpikir seseorang atau mindset dalam memandang sesuatu jika sudah diawali oleh konstruksi berpikir yang didasari atas asumsi (negatif), praduga yang kemudian tidak di-tabayyun (diperjelas) maka akan menggiring yang bersangkutan menjadi terpolarisasi antara dua sisi apakah cenderung ke kanan (radikalsime) atau ke kiri (liberalisme).

Kesalahan memahami teks-teks keagamaan sebagai efek dari sikap yang inklusif menjadikannya sikap memvonis siapapun di luar pemahamannya mudah terjadi. Disinilah perlunya menjadikan moderasi beragama sebagai cara memahami agama secara wasathiyah bagi para tokoh agama, tokoh masyarakat, sesepuh, tkokoh informal. Bahkan lebih dari itu para pengambil keputusan (anggota DPR/D; Presiden, Menteri, Gubernur dan dibawahnya) harus mendorong program ini menjadi gerakan kultural. Gerakan kultural moderasi beragama. Dengan demikian, sejatinya, moderasi beragama harus melibatkan semua stakeholder yang bukan hanya sebagai penonton tapi ia sebagai pelopor. Siapapun itu.

Pelopor moderasi beragama dan siapapun memiliki tanggungjawab untuk mengenalkan agama secara ramah penuh dengan cinta kasih dan anti kekerasan. “seorang dengan lainnya ibarat satu tubuh, jiak ada bagian yang sakit maka lainnya iktu merasakan sakit”, inilah gambaran sederhana kita adalah bagian lainnya. Pernyataan ini bisa diperluas dimana kita memposisikan diri sehingga kemudian muncul istilah persaudaraan seakidah (islamiyah), persaudaraan sebangsa (wathaniyah), yang kemudian meluas menjadi persaudaraan sesama manusia (basyariyah).

Penulis terinspirasi dengan pernyataan ulama sekaligus budayawan negeri yang dikenal dengan Gus Mus (KH. Mushthofa Bisyri), “Aku mencintaimu karena engkau adalah manusia dan meskipun engkau berbuat jahat aku akan tetap mencintaimu karena aku adalah manusia”. Dasar kemanusiaan menjadi bingkai spirit kebersamaan. Agenda besar atas dasar kemanusiaan akan menghilangkan sekat-sekat primordial. Kekejaman Israel pada bangsa Palestina dengan merebut tanah dan kebebasan rakyat Palestina adalah menjadi gerakan global kemanusiaan bahwa Palestina adalah tragedi kemanusiaan. Siapapun pasti menginginkan kedamaian dan kesejukan. Disinilah pentingnya moderasi beragama menjadi dasar pijak dalam pengambilan sikap dan langkah bagi siapapun.
Mengenalkan wajah agama secara utuh dengan bekal keilmuan menjadi prasyarat agar pesan-pesan keagamaan dapat diterima secara baik.

Dengan keilmuan yang cukup, maka pesan yang akan disampaikan tidak hanya bagaimana merancang kualitas informasi itu tapi juga mendesign cara bagaimana cara menyampaikan pesan itu sendiri. Pesan kebaikan dengan cara tidak etis dan cenderung mengarah kepada kekerasan maka bisa saja pesan itu akan berdampak negatif bahkan penolakan dan demikian juga sebaliknya konten yang kurang baik namun disampaikan dengan teknik dan metode yang simpatik tentu akan berpengaruh pada komunikannya.

Syarat lainnya sebagai cara mengenalkan agama dengan ramah adalah melibatkan pihak yang memiliki kepentingan bersama dalam rangka moderasi beragama. Keterlibatan perempuan, tokoh adat (informal) dan pelaku kearifan sosial menjadi keniscayaan. Ketiganya termasuk modal sosial yang harus dirawat. Kenyataan menunjukkan bahwa sikap merawat membutuhkan keseriusan dan kekompakan karena kebersamaan pasti berawal dari perbedaan yang perbedaan dan keragaman itu jika tidak dikelola secara arif dan bijaksana justru akan menjauhkan dari makna moderasi beragama itu sendiri.

Akhirnya, kita harus sepakat bahwa moderasi beragama adalah cara mengenalkan agama dengan lebih ramah dan santun atas dasar kemanusiaan dengan sikap adil dan berimbang.

*Penulis merupakan Ketua PC Pergunu Kota Pontianak Provinsi Kalimantan Barat.