MENJADI PETARUNG TANGGUH DI TENGAH COVID-19
(Refleksi Kelulusan Anak Didik Indonesia )
Oleh: Aris Adi Leksono*
Setiap pimpinan lembaga pendidikan pasti berkeinginan kuat untuk membawa madrasahnya maju dan bermutu. Begitu pula wali kelas dan gurunya pasti memiliki mimpi yang sama. Salah satu indikatornya, mereka ingin peserta didiknya lulus dengan nilai terbaik, diterima pada jenjang pendidikan berikutnya dengan mudah, serta dalam katagori “unggul”. Benarkah semua itu? tentu asumsi tersebut hanya perspektif positif penulis. Kebenarannya masih harus diuji dan dibuktikan secara nyata.
Semua lembaga pendidikan, sejak awal tahun pelajaran sudah secara intensif mempersiapkan ujian akhir anak-anaknya. Semua usahanya tidak ada lain, ingin memiliki lulusan yang unggul dan mampu meneruskan ke jenjang pendidikan berikutnya yang lebih baik. Paling tidak langkahnya dimulai dengan membangun sinergi antara pimpinan, komite, orang tua, guru dan yang paling penting adalah peserta didik. Bisa jadi sinergi itu benar-benar berjalan atau hanya “lipstik” pemanis bibir. Atau mungkin sedang berusaha sekuat tenaga untuk menuju tujuan dan hasil sinergi. Tentu hanya dia, mungkin kita atau tuhan yang tau. “sinergi yang berimplikasi pada energi”.
Senirgi pimpinan, wali kelas dan guru bisa jadi ukurannya dengan menyusun program untuk sukses ujian, meliputi; bimbingan intensif, percepatan penyelesaian materi, pendalaman materi, klinik, try out, bimbingan mental, bimbingan spiritual, dll. Sinergi madrasah dan orang tua bisa jadi dalam bentuk dukungan pembiayaan, laporan perkembangan, bimbingan di rumah, membangun motivasi sukses untuk anaknya, dll. Mungkin realisasi program-program tersebut 100%, tapi apakah dampaknya 100% pula kepada peserta didik?, ini masih perlu dikroscek lebih dalam lagi, serta dibuktikan melalui keberhasilan hasil ujian akhir peserta didik.
Lantas apa ukuran keberhasilan sinergi dengan peserta didik?, jika menengok teori Bloom tentang struktur kompetensi kognitif, maka dampak sinergi dengan peserta didik dibuktikan dengan seberapa dia mengetahui, memahami, mempraktikkan, serta mampu meng-kontekstualisasikan materi dengan penerapan keseharian. Sehingga pada akhirnya diharapkan mereka dapat menjawab soal ujian dan terlebih menjawab tantangan persoalan kehidupan.
Baru “Membaca Saja Aku Sulit”
Sinergi yang sistematis, terstruktur dan masif tersebut, menurut pengamatan dan penghayatan penulis dapat simpulkan “masih banyak sinergi pada level peserta didik belum menunjukkan hasil yang signifikan”. Salah satunya di beberapa kelas masih tergambar kalimat dalam sebuah iklan pada tahun 90-an, “Membaca Saja Aku Sulit”. Bukan karena tidak bisa baca huruf seperti waktu usia Taman Kanak-kanak, tapi bagi anak seusia MTs/SMP harusnya bukan sekedar bisa baca, tapi lebih dari itu, adalah memiliki motivasi membaca hingga menjadi budaya baca. Harusnya jargon yang tepat menggantikan kalimat iklan tersebut adalah “dengan membaca aku faham, dengan faham aku menjawab”.
Lantas bagaimana struktur kompetensi dapat ditanamkan sebagaiman teori Bloom, kalau “Membaca Saja Aku Sulit”. Bagaimana akan faham, kalau tidak baca. Bagaimana akan menerapkan, kalau tidak faham. Bagaimana menganalisis kalau tidak faham dan tidak menerapkan. Walhasil, bagaimana dan dengan apa akan dapat menjawab soal-soal ujian akhir? Kalau baca saja tidak, apalagi sampai faham dan mengerti pentingnya ujian akhir pendidikan, apalagi menghadapi ujian kehidupan.
Timbul perasaan, runtuhlah semua sinergi yang dibangun, jika sinergi dengan peserta didik tidak dapat menunjukkan hasil yang maksimal. Miris, menangis, “ngelus dodo”, “nelongso”, campur aduk menjadi satu, ketika menyaksikan peserta didik yang ketika memulai belajar, harus diucapkan Iqra’ (bacalah). Lalu beberapa saat tampak pada wajah mereka, “maa anaa bi qori’in”, seakan meraka berucap “aku tidak bisa baca”. Bukan tidak bisa baca sesungguhnya, tapi saat baca dia tidak focus, melamun, ingat game, ingat main, jailin teman, bahkan mungkin dia menahan beban psikis akibat kondisi lingkungan di rumah atau pergaulan dengan temannya dan lainnya sebagainya. Itu baru membangun budaya baca, lantas bagaimana dengan harapan mereka berprestasi, dengan nilai lulusan terbaik, dan diterima di satuan pendidikan berikutnya yang unggul dan favorit.
Ingat! Visi unggul madrasah kita adalah lulus dengan nilai terbaik, serta berkelanjutan. Bukan sekedar lulus, tapi memastikan mereka tidak putus sekolah, mereka diterima di sekolah atau madrasah yang unggul, diterima di sekolah atau madrasah favorit, bahkan memastikan dia akan menjadi anak yang sukses, berguna bagi sesama di masa yang akan datang.
Yakin Usaha Pasti Sampai
Salah satu motifasi yang penulis pernah dengar adalah “yakin usaha pasti sampai”, sepertinya bisa sedikit mengobati jawaban wajah “hampa” anak-anak yang diharapkan menjadi penolong di surga nanti. Artinya dengan segala upaya dan sinergi yang dilakukan, yakinlah bahwa itu tidak akan sia-sia. Agama Islam juga mengajarkan untuk meyakini bahwa segala sesuatu yang diciptakan Allah SWT tidak “batil” atau tanpa guna, “rabbanaa maa kholakta hadzaa bathilan”. Mungkin dengan jalan lain, Allah SWT akan memberikan keberhasilan dan kesuksesan hidupnya di masa yang akan datang.
Keyakinan itu sebagaimana pendapat seorang ahli riset dari Amerika, Prof. Howard Gardener, yang mengembangkan model kecerdasan “multiple intelligence”, artinya setiap individu memiliki bermacam-macam kecerdasan. Mungkin kongnitifnya kurang baik, tapi pada aspek lain, dia memiliki kecerdasan yang lebih baik. Sehingga kehidupan dia lebih berhasil, dibandingkan dengan yang nilai ujianya lebih baik. Sebagaimana Mas Menteri Kemendikbud katakan bahwa lulusan S1, S2, dan seterusnya tidak menjamin kualitas kompetensi seseorang, dan tidak menjadi jaminan dia akan sukses dalam kehidupan.
Maka sudah seharusnya tidak ada kata lelah, apalagi berputus asa atas semua usaha yang dilakukan untuk sukses ujian akhir anak Indonesia. Yakinlah bahwa semua usaha yang dilakukan seorang hamba, Allah pasti akan balas “laha ma kasabat, wa ‘alaiha maktasabat” . Bukankah Nabi Muhammad SAW harus berjuang siang malam selama 23 tahun untuk menegakkan kalimat Allah. Bukankah Nabi harus rela dilempari batu hingga berdarah-darah untuk menunggu anak cucu bani thaif mencintai Islam. Yakinlah bahwa usaha dan doa yang tidak langsung dikabulkan bukan berate ditolak, tapi mungkin Allah sedang senang melihat kesungguhan rasa hambanya dalam usa dan doa.
Pada akhirnya, doa adalah “silahul” mu’minin, maka mendo’akan anak didik kita agar sukses ujian akhir adalah keniscayaan. Ya Allah, jadikan anak-anak kami, anak yang soleh/sholehah, anak yang cerdas, anak yang berakhlakul karimah, anak yang tekun berusaha untuk sukses ujian. Ya Allah, jauhkan sifat malas pada mereka, jauhkan mereka untuk berkata tidak bisa, hingga akhirnya mereka sukses ujian dan sukses dalam kehidupan.
*Penulis adalah Guru MTsN 34 Jakarta, Ketua MGMP Fikih MTs DKI Jakarta
Post a comment