Oleh Sholihin H. Z., M. Pd. I
(Penulis Ketua PC Pergunu Kota Pontianak/Guru MAN 2 Pontianak)

Profesi apapun sepertinya tidak akan pernah lepas dari aktifitas mengajar, siapapun pernah melakukan aktifitas ini, mengajar dalam arti adanya proses penyampaian informasi atau pengetahuan (transfer of knowledge) yang berlangsung secara dua arah. Faktor yang membedakannya adalah apakah pengajarannya berlangsung secara sistematis, terencana dan untuk sebuah tujuan atau berlangsung begitu saja.
Mengajarkan ilmu merupakan sebuah kemuliaan, dan orang yang dapat mengajarkan ilmu dilihat dari urutannya ia berada pada urutan pertama, dilanjutkan dengan urutan orang kedua yaitu yang menuntut ilmu, jika kedua aktifitas di atas tidak dapat dipenuhi masih ada kemuliaan lainnya yakni senang mendengarkan ilmu, jika tidak juga terpenuhi maka yang paling rendah dan harus ada pada tiap manusia adalah senang bergaul dengan orang yang mengajarkan ilmu (urutan pertama), bergaul sebagai seroang pelajar (urutan kedua), suka menemani orang yang menuntut ilmu (urutan ketiga) dan berteman dengan orang yang senang mendengarkan tambahan ilmu (urutan keempat). Kategori manusia yang merugi adalah manakala ia tidak masuk dalam satu diantara kategori itu. Tidak bisa mengajarkan ilmu, tidak senang menuntut ilmu, tidak menyukai ilmu dan bahkan tidak menyukai semuanya yang berkaitan dengan tambahan ilmu, jelaslah, kerugian yang menimpanya.
Dalam dunia pendidikan di Indonesia, ada satu istilah yang cakupannya lebih luas dari pengajaran yaitu pendidikan. Pendidikan punya makna tidak sekedar transfer of knowledge saja tapi sudah merambah pada transfer of value (perubahan nilai) dan transfer of behavior (transfer perubahan tingkah laku), karenanya orang yang memposisikan diri dan menyatakan diri sebagai seorang pendidik dalam rangka mentransfer nilai-nilai tidak sekedar bahkan tidak dapat dibatasi oleh ruangan yang hanya berukuran 6×7 saja, atau setumpuk buku sebagai pegangan dan kurikulum sebagai acuan. Seorang pendidik sejatinya memahami bahwa tidak ada anak yang bodoh, yang ada adalah anak yang punya kompetensi dan kapabilitas yang berbeda. Sejumlah anak dalam satu kelas mencerminkan sejumlah karakter dan potensi yang akan dikembangkannya. Pada sisi inilah, kegiatan ekstra kurikuler menjadi penting.
Guru menjadi faktor yang paling penting dalam proses transformasi nilai-nilai, kurikulum apapun yang dijadikan acuan, selengkapnya apapun media jika tidak dikendalikan dan dimediasi oleh guru, maka tujuan institusi dari lembaga itu sulit untuk tercapai. Menurut Anies Baswedan, seorang guru mesti menguasai dua konsep dasar yaitu kepengajaran (pedagogi) dan kepemimpinan. Seorang guru harus mengerti dan dapat mempraktekkan dasar-dasar pedagogi yang efektif. Faham tentang metode dan strategi, penguasaan kelas, hingga pola pikir yang konstruktif agar tujuan pendidikan tercapai. Demikian juga dalam hal kepemimpinan, menjadi hal yang tidak terelakkan bagi seorang guru, saat ia berkomunikasi di kelas akan nampak sekali jiwa kepemimpinan seorang guru, adanya job description yang jelas dan pembagian peran yang terarah menunjukkan guru memainkan peranan yang urgen dalam hal kepemimpinan di kelas.
Munif Chatib (2014: 56) -seorang konsultan pendidikan, penulis bestseller Sekolahnya Manusia- mengatakan jika dilihat dari kemauan guru untuk maju, maka ada tiga jenis guru yaitu guru robot, guru materialistis dan gurunya manusia.
Jenis guru yang pertama, guru robot, yakni guru yang bekerja seperti robot. Mereka hanya masuk kelas, mengajar lalu pulang. Tidak peduli dengan siswa yang lamban menerima pelajaran, cuek dengan keadaan sekolah, “itu bukan urusan saya …” adalah beberapa indikasi guru dengan tipe ini. Karena tidak peduli dan jika bekerja sesuai instruksi tanpa imajinasi dan kreasi, maka jenis guru ini dikategorikan guru robot.
Jenis kedua adalah guru materialistis, guru dengan tipe ini menurut Munif Chatib adalah guru yang mindset nya selalu melakukan perhitungan, mirip dengan aktifitas jual-beli. Apa yang mereka lakukan adalah dikarenakan apa yang mereka terima dan harus impas, tidak kurang tidak lebih. Artinya kewajiban baru akan dilaksanakan –tidak lebih- jika hak telah diterima. Gaya bahasa guru dengan tipe ini adalah, “Cuma digaji sekian saja, kok mengharapkan saya total dalam mengajar, jangan harap ya”.
Guru yang ketiga diistilahkan dengan gurunya manusia, guru yang dimaksud adalah guru yang punya keyakinan bahwa satu saat apa yang disampaikannya akan memberikan manfaat bagi anak didiknya di kemudian hari. Guru dengan tipe ini adalah guru yang memiliki mindset tidak boleh ada kata berhenti untuk belajar, guru harus tetap belajar, punya kemauan untuk belajar, karena keberhasilan yang diperoleh pasti berasal dari adanya kemauan, dan kemajuan sekolah salah satunya adalah karena adanya kemauan guru untuk maju.
Idealnya adalah guru jenis yang ketiga, bahwa gaji yang diterima adalah sebagai penopang kebutuhan hidup, namun yakin akan adanya pintu rezeki lain yang akan menghampirinya dikarenakan kesediaan, kesetiaan bahkan keikhlasan terhadap profesi ini.
Mengakhiri tulisan ini, sebuah kisah yang mudah-mudahan menginspirasi pembaca –sebagaimana ditemukan dalam bukunya Komaruddin Hidayat, Penjara-penjara Kehidupan (2016: 227). Di suatu desa terdapat seorang ustadz yang cukup disegani, ia terkenal dengan orang yang rajin bershadaqah. Didorong oleh rasa hormat kepada ustadz tersebut, seorang warga desa mendatangi ustadz untuk memberikan buah tangan atau hasil palawija berupa singkong, pepaya dan sayur-sayuran. Kepada ustadz ia berucap, “Ustadz, ini saya bawakan hasil kebun saya, mudah-mudahan Ustadz sudi menerimanya”, Ustadz itupun terharu dengan kepolosannya sehingga menggerakkan hatinya untuk membalas kebaikan itu dengan kebaikan pula sambil mendoakan smeoga hasil panen warga tersebut semakin berlimpah. Kepada warga desa yang telah menghadiahinya hasil panen, sebagai ucapan terimakasih Ustadz membalas kebaikannya dengan memberikan seekor kambing yang gemuk, dengan harapan mudah-mudahan dapat beranak-pinak dan sehat-sehat.
Betapa gembiranya warga tersebut karena dihadiahi seekor kambing, hal yang di luar dugaannya. Berita kebaikan ustadz ini tersebar hingga sampai pada salah satu warga lainnya sambil berpikir, kalau saja tetangganya bershadaqah singkong kepada Ustadz diberi balasan seekor kambing, bagaimana kalau sekiranya ada orang yang bershadaqah kambing, kemungkinan sapi yang akan diberi Ustadz. Keesokan harinya datanglah warga tersebut ke rumah Ustadz sambil membawa seekor kambing, “Semoga ustadz akan membalasnya dengan memberi hadiah seeokor sapi pada saya,” bisiknya dalam hati. Saat menerima kambing itu, Ustadz pun berujar, “Terimakasih atas kebaikan hatimu. Sekadar sebagai tanda terimakasih, ini saya hadiahkan sekeranjang singkong dan pepaya, pasti anak dan isterimu akan senang”.
Betapa kecewanya warga tersebut, apa yang diharapkannya tidak sesuai apa yang terjadi dan ia harus membawa pulang sekeranjang singkong dan pepaya.
Kisah di atas, mengajarkan kepada kita bahwa keikhlasan merupakan sumber kekuatan dan kebahagiaan hidup. Dengan ikhlas tidak ada caci maki, dengan ikhlas tidak ada tidak ridho terhadap apapun yang diterima, dengan ikhlas tidak akan muncul sikap haus pujian dan merana karena bentakan hinaan. Semoga**