Selamat datang di website Pimpinan Pusat Persatuan Guru Nahdlatul Ulama

Refleksi Hari Guru|Pergunu Kota Depok

22 November 2020
Guru adalah orang pertama sebagai peletak pondasi masa depan bangsa dan negara. Termasuk guru ngaji tradisional yang kehadirannya di tengah masyarakat masih masih sangat dibutuhkan. Merekalah yang memberikan pendidikan agama kepada anak-anak, terutama cara membaca Al-Quran.   Di antara guru yang berdedikasi dalam mengajar itu adalah Rabiatul Adawiyah. Sudah tiga tahun ini ia aktif menjadi anggota Persatuan Guru NU (Pergunu). Pertama kali ikut kegiatan Pergunu di Kota Depok, walaupun tinggalnya di wilayah Citayam, Bojonggede, Kabupaten Bogor. Kesehariannya Wiwi, sapaan akrabnya, menjadi guru di PAUD Al-Kautsar di Citayam.   Guru tamatan SMK Nusantara tiga tahun silam ini, mengabdikan diri mengajar ngaji di Taman Pendidikan Al-Quran (TPQ). Dengan jadwal sore hari hingga malam, Wiwi tercatat sebagai mahasiswi S1 di Universitas Indraprasta (UNINDRA) Jurusan Matematika di kawasan Jakarta Selatan.   “Alhamdulillah saya bisa melanjutkan jenjang kuliah saat ini. Berkat dorongan orang tua dan para guru. Tidak banyak dari teman-teman seangkatan yang bisa melanjutkan belajar, karena keterbatasan ekonomi maupun tuntutan keluarga. Di kampung saya, biasanya tamatan SMK harus bekerja utuk membantu ekonomi keluarga,” tutur Wiwi.   Kondisi keluarga tak menyurutkan semangat Wiwi untuk terus belajar. Di tengah pandemi Covid-19 ini, tentu saja keadaan ekonomi keluarganya ikut terimbas. Salah satunya adalah ayahnya terkena pemutusan hubungan kerja. Wiwi dipaksa berpikir keras, ikut membantu ekonomi keluarga sekaligus mempertahankan kuliahnya.   Ia mencoba sejumlah cara. Berjualan penganan seperti cireng, pisang goreng kriuk, cilok dan bakso, yang semuanya dijajakan secara online.   Ia terbiasa bangun pukul empat  pagi untuk membeli bahan-bahan kue tersebut di pasar. Pagi hari jajanannya harus sudah siap dijajakan.   “Sekarang saya membantu keluarga dengan berbagai cara. Saya bersyukur bisa menjalaninya dengan baik. Saya tetap bisa mengajar dan menjalani perkuliahan,” ujarnya dengan nada tegar.   Selesai menyiapkan dagangan, Wiwi akan mengajar di PAUD. Lalu dilanjutkan dengan kuliah online hingga malam hari. Ia mengakui mengajar di PAUD ini menjadi tantangan tersendiri. Sudah beberapa bulan ini tidak ada lagi pemasukan dari iuran bulanan orang tua murid. Semua terimbas, tapi pendidikan anak harus tetap berjalan.   “Insya Allah dengan niat tulus, saya tetap harus mengajar murid-murid. Saya percaya Allah akan memberikan jalan keluar terbaik.”   Aktifitas Pergunu juga tak ia tinggalkan. Ia rajin menghadiri kegiatan rapat dan seminar online. Wiwi mengaku sangat senang bisa ikut dan menjadi anggota persatuan guru NU ini. Selain menambah relasi, ia merasa banyak mendapatkan ilmu.   Bagaimana dengan berbagai bantuan Pemerintah yang saat ini banyak beredar di media sosial?   “Sama sekali belum pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah. Saya kan di kampung, dan belum tahu caranya,” kata Wiwi berterus terang.   Ia berharap Pergunu bisa membantunya mengakses bantuan pemerintah itu. Ia juga ingin tetap melanjutkan kuliah hingga berkesempatan untuk diwisuda. Yang pasti, mengajar sudah menjadi jiwa perjuangannya.  
Read more

Menjaga Semangat Literasi di Tengah Pandemi

6 November 2020

Pendidikan di masa pandemi karena covid-19 seakan “menghentikan denyut nadi pendidikan”. Tatap muka beralih menjadi tatap maya, faktual berganti menjadi virtual, sistem pembelajaran yang dulunya mungkin hanya dilakukan oleh kalangan tertentu sekarang menjadi sesuatu yang biasa. Video conference yang dilakukan untuk kalangan terbatas sekarang sudah menjadi aktifitas keseharian guru dan siswa (google meet, zoom meeting, vidconf dan sebagainya). Terhentikah Proses Belajar Mengajar (PBM)? Ternyata tidak dan memang sejatinya tidak boleh berhenti. Banyak cara kalau mau dan banyak alasan kalau menolak.

Dunia pendidikan adalah dunia pengetahuan dan penelitian. Pengetahuan didapatkan dari berbagai sumber ilmu. Pengetahuan saat ini benar-benar sangat mudah diakses sehingga seakan-akan saat ini kita tidak ada lagi yang bodoh dan sepertinya keterlaluan kalau ada yang bodoh. Berbagai media menjadi sumber pengetahuan. Tapi itu hanya sebatas pengetahuan via digital yang tentu pasti beda dengan pengetahuan karena mendapatkan informasi dari salah satu sumber ilmu yakni guru.

Bicara tentang sumber ilmu, maka membaca adalah pintunya. Lagi-lagi kita diingatkan dengan peristiwa turunnya wahyu pertama yang menginspirasi kalangan Arab khususnya kala itu dan menginspirasi manusia sesudahnya hingga har ini. ‘Iqra’ sebagai ‘bacalah’ mengisyaratkan dua hal, baca dengan mata sebagai panca indramu dan baca dengan hatimu apa yang ada disekitarmu.

Prof. Abuddin Nata (2017) menjelaskan kosakata Iqra’ yang berarti baca, bukan hanya mengandung arti membaca huruf-huruf atau angka-angka dalam bentuk kata-kata atau kalimat sebagaimana yang dipahami, melainkan mengandung arti research (penelitian), baik penelitian eksploratif dengan mengandalkan kemampuan bahasa, pembersihan diri dengan mengandalkan intuisi yang bersih yang siap menerima ilmu dari Tuhan, penggunaan eksperimen dengan mengandalkan pancaindera, observasi dan demontrasi argumentatif  atau logika deduktif dan induktif. Hal ini sejalan dengan makna generic al-iqra, yakni mengumpulkan atau menghimpun. Hal ini sama artinya dengan research yang berarti menemukan.

Membaca sesungguhnya adalah aktifitas keseharian guru dan siswa. Karenanya semangat ini akan selalu tumbuh dan berkembang pada jiwa guru dan siswa. Hanya pertanyaan berikutnya, sejauh mana frekuensi membaca buku tentang keilmuan dan membaca informasi yang selain itu kaitannya dengan PBM. Di tengah pandemi saat ini, dapat dilihat dan mungkin kita mengalami untuk anak-anak kita dirumah, kedekatan mereka dengan PBM sangat terbatas –untuk tidak mengatakan jauh sekali menurunnya-. Menjaga semangat agar ‘dekat dengan PBM’ selayaknya di sekolah adalah kekhawatiran positif. Apa kiat-kiat yang bisa kita lakukan selaku guru untuk menjaga spirit ini agar tetap terjaga bahkan bisa menemukan pengetahuan baru dalam rangka menjaga spirit literasi ini?

Pertama, karena tujuannya adalah menjaga spirit literasi maka guru hendaknya tidak menekankan pada literatur yang wajib dibaca dan kaku sifatnya, (harus buku ini, harus sumber ini). Guru hanya perlu menjadi mediator dengan memberikan tema umum (silakan cari dan kaji buku tentang ‘penciptaan alam semesta’, buku dengan tema ‘sejarah kemerdekaan Indonesia’).

Kedua, tugas literasi (meskipun banyak yang sudah melakukan) bisa dengan cara mengambil tema yang menjadi materi PBM (tentu mengacu ke kurikulum) yang kemudian resume buku ini nantinya akan dicetak sebagai karya siswa kelas sekian dan jurusan ini. Siswa akan terpacu jika namanya dimuat dalam buku resmi dengan penerbit dan di-ISBN-kan.

Ketiga, untuk mata pelajaran Pendidikan Agama Islam bisa dilakukan dengan menkontekskan ayat-ayat al-Quran dengan deskripsi keseharian. Misalnya gambar ini berkaitan dengan surat apa dan ayat berapa. Jadi menghubungkan gambar dengan teks ayat al-Quran.

Keempat, dengan terbiasanya zoom meeting atau video conference maka media ini bisa dimanfaatkan untuk mengadakan pelatihan menulis singkat, atau bertahap dengan menghadirkan pembicara yang memiliki keahlian dibidangnya atau dengan curhat peserta tentang tulis-menulis. Jadi semua peserta adalah pembicara dengan waktu yang dibatasi.

Tulisan di atas kiat-kiat yang bisa menjadi acuan yang dapat dikembangkan lagi lebih jauh. Intinya adalah jangan sampai spirit literasi melemah di tengah pandemi. Semoga Menginspirasi.

****************

Oleh Sholihin H.Z.

(Penulis & Guru MAN 2 Pontianak)

Read more
Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor